Selasa, 25 November 2014

Agenda Karnaval Budaya Lomba Baca Puisi SST 2014

SALAM BUDAYA!
Dengan bergembira, SANGGAR SASTRA TASIK (SST) kembali menggelar Lomba Baca Puisi Se-Jabar 2014, yang akan dimeriahkan dengan karnaval budaya "Ekslporasi Batik" dan beberapa persembahan seni tradisi, Pada tanggal 28 - 30 November 2014, di Gedung Eks. DPRD kabupaten Tasik kompleks Dinas Pertanian Kab. Tasik, Jalan HZ. Mustofa. Kepada peserta Karnaval budaya kumpul padaHari Jumat, 28 November 2014, Pukul 13.00 WIB di lokasi pelaksanaan lengkap dengan kostum batik yang telah dieksplor semenarik dan seunik mungkin.
Kepada para peserta Baca Puisi, Temu Teknis akan dilaksanakan Kamis 27 November 2014, di Aula Dinas Pendidikan Kota Tasikmalaya Jl. Ir. Juanda Kompleks Perkantoran, Pukul 13.00 WIB.

Kami berterimakasih kepada seluruh sponsor dan pendukung kegiatan ini: Bakti Budaya Djarum Foundation, Pemkot Kota Tasikmalaya, Pemkab Tasikmalaya, Dinas Pendidikan Kota Tasik, DISBUDPARPORA Kota Tasik, Dinas Pertanian Kab. Tasik, Komisi 4 DPRD Kota Tasik, Polres Kota Tasik, BERANDA 57, Teater Bolon, TCW, Asia Plaza, Hotel Asri, Hayyan Cell, Karya Mandiri, PDAM Tirta Sukapura, Radar Tasikmalaya, Kabar Priangan.

Kegiatan ini bebas diapresiasi oleh siapapun, terbuka, serius dan nyantai, tanpa unsur SAROP (Sara, Ormas, dan Partai Politik).

Salam,
Boris
(Ketua Pelaksana)


Senin, 24 November 2014

Lomba Baca Puisi SST 2014

Sanggar Sastra Tasik (SST) akan menggelar Lomba Baca Puisi (LBP) se-Jawa Barat tahun 2014 pada tanggal 27-30 November. LBP tahun ini akan dilaksanakan di eks Gedung DPRD Kabupaten Tasikmalaya (Aula Dinas Pertanian Tanaman Pangan) di Jalan Pemuda Kota Tasikmalaya.
LBP diperuntukkan bagi peserta umum usia 17 tahun ke atas. Hadiah yang akan diperebutkan berupa piala bergilir, piala tetap, uang pembinaan, dan bingkisan menarik. Sementara, dewan juri dipilih dari kalangan sastrawan dan deklamator yang sudah tidak asing lagi, yakni Beni Setia (Caruban, Jawa Timur), Arief Joko Wicaksono (Jakarta), dan Sosiawan Leak (Solo).
Puisi-puisi yang diperlombakan ditulis oleh para aktivis dan eksponen Sanggar Sastra Tasik (SST) yang terhimpun dalam sebuah antologi berjudul "Ziarah Hujan".
Lomba Baca Puisi Tahunan SST ini bisa diikuti oleh peserta yang tinggal di Jawa Barat atau mereka yang lahir di Jawa Barat meski tinggalnya bisa di manapun di seluruh Indonesia.
Peserta mengisi formulir pendaftaran yang telah disediakan oleh panitia, membayar biaya administrasi sebesar Rp 35 ribu.
Tempat pendaftaran antara lain:
Tasik: di Teater 28 Unsil dan SST
Ciamis: Kidung Purnama (SMAN 1 Ciamis)
Bandung: MSB (Matdon), STSI (Chandra), dan UPI (Zulkifli Songyanan).
Selain di Bandung, pendaftaran dibuka pula di Sumedang, Cianjur, serta Cirebon. Purwakarta bisa menghubungi Sanggar Sastra Purwakarta (Rudi).

Jadwal Kegiatan LBP 2014

1. Tgl. 19 Okt s.d. 25 November - Pendaftaran Peserta.
2. Tgl. 27 November : Teknikal Meeting. Mulai pukul 13.00 WIB s.d. Selesai.
3. Tgl. 28 November : Karnaval Budaya. Mulai pukul 14.00 WIB s.d. Selesai
4. Tgl. 29 - 30 November: Pelaksanaan Lomba Baca Puisi.
5. Tgl. 30 November: Pentas Seni dan Penganugerahan Hadiah Pemenang Lomba Baca Puisi se-Jawa Barat 2014.
Kelompok Kesenian yang sudah positif ikut berpartisipasi, baik dalam Pentas Seni maupun Karnaval Budaya:
1. Teater Bolon
2. Grup Tagoni Kreatif Sumber Makmur 28 dari Unsil.
3. Borelak
4. Angklung siswa SMA se-Singaparna (Agus AW)
5. Karinding Dongkrak
6. Barongsay Asia Plaza
7. Bebegig Teater Windu (Orock Kappas)
Untuk kegiatan yang bermartabat budaya serta dimaksudkan untuk membangun citra budaya bagi Tasikmalaya (Kota dan Kabupaten) serta provinsi Jawa Barat ini, panitia (SST) masih menerima sumbangan finansial ataupun material. Bantuan bisa dikirim ke Sekretariat Sanggar Sastra Tasik (SST), Jl. Argasari No. 22 RT 03/02 Kel. Argasari Kota Tasikmalaya. Terima kasih. (*)

Selasa, 07 Oktober 2014

Menelusuri Peninggalan Sejarah di Tanah Sukapura (8)

Radar Tasikmalaya Edisi Jumat, 3 Oktober 2014 

Jalari Buat Situ Cipajaran, Cilambu, Cibubuhan, Cibeureum


Jaya Wisesa yang dikenal dengan sebutan Eyang Jalari mengabdikan hidupnya untuk menyuburkan tanah Sukapura. Jalari pun membuat bendungan air seorang diri untuk mengaliri pertanian masyarakat. 
SUMBER AIR. Situ Cilambu di Manonjaya yang dibuat
Eyang Jalari sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
FOTO: YANGGI F IRLANA / RADAR TASIKMALAYA

LAPORAN
YANGGI FAJAR IRLANA 
MANONJAYA

SETELAH Jalari menemukan sumber air yang cukup bagus di Pasirpanjang, Manonjaya, Jalari langsung meminta izin kepada Bupati Sukapura Suryalaga untuk membendung sawah di sekitar sumber air tersebut untuk dijadikan bendungan. Setelah direstui Jalari pun membuat bendungan seorang diri. 
Mengawali pekerjaannya, Jaya Wisesa mempersiapkan peralatan berupa cangkul, linggis dan lain-lain. Pembuatan bendungan selalu dikerjakan di malam hari. Jalari ditemani seorang badega (pembantu) yang masih anak-anak. Tugas pembantu ini hanya membuatkan nasi liwet untuk makan Jalari.  
Bendungan yang dibuat Jaya Wisesa pun berubah menjadi situ. Agar airnya tetap melimpah, Jaya Wisesa berangkat ke Bogor untuk mengambil air dari Situ Sipatahunan. Air dari Situ Sipatahunan itu diangkut dengan bambu tamiang satu ruas (buku) yang dilobangi, kemudian disatukan dengan air situ yang dibuat Jalari di Pasirpanjang. “Adapun tamiang bekas membawa air tersebut ditanam di sekitar bendungan (situ) yang dinamakan Situ Cipajaran yang mengandung arti situ yang dibuat setiap waktu fajar dan merupakan situ yang pertama dibuat. Selanjutnya diikuti oleh masyarakat sekitar dengan bergotong royong membuat saluran air (parit) untuk menyalurkan luberan air dari pembuangan situ,” terang Kasi Bina Wisata Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Tasikmalaya Asep Herman.. 
Berhubung air yang terbuang dari situ Cipajaran masih meluber di parit, Jalari membendung lagi luberan air tersebut di daerah Cipetir. Karena kesuburan situ tersebut, Jalari membuat lagi bendungan (situ) yang cukup luas yang diberi nama Situ Cilambu di Desa Margahayu Kecamatan Manonjaya. Selanjutnya luberan air dari Situ Cilambu dialirkan ke Kampung Pasirpanjang. Jalari pun membuat lagi bendungan yang diberi nama Situ Cibubuhan.
Setelah proses pembuatan Situ Cibubuhan selesai, membuat Situ Cibeureum yang saat ini berlokasi di Kecamatan Tamansari Kota Tasikmalaya. Sampai saat ini lokasi-lokasi situ yang pernah dibuat Jalari tidak semuanya masih berupa situ atau bendungan. Mungkin ada yang sudah menjadi kolam sawah dan yang lainnya. Sedangkan untuk Situ Cibeureum dan Cilambu itu masih terawat karena dekat dengan jalan raya.
Dengan pembuatan situ terebut otomatis pesawahan di Kabupaten Sukapura menjadi subur karena banyaknya sumber mata air yang mengalir. Tugas Jalari untuk membuat subur tanah Sukapura pun terbilang berhasil. (*/Bersambung)

Senin, 06 Oktober 2014

Menelusuri Peninggalan Sejarah di Tanah Sukapura (7)

Radar Tasikmalaya Edisi Kamis, 2 Oktober 2014 

Jaya Wisesa Suburkan Lahan Pertanian Masyarakat 


Raden Jaya Wisesa yang dikenal dengan sebutan Eyang Jalari merupakan keturunan ningrat Sumedang yang datang ke Tasikmalaya abad XIX, periode Bupati Sukapura Wiradadaha VIII. Saudara dari Jaya Perkosa ini mengabdi di Sukapura untuk bertugas menyuburkan lahan pertanian.  
BERSEJARAH. Makam Eyang Jalari di Desa Tanjungsari
Gunungtanjung.
FOTO: YANGGI F IRLANA / RADAR TASIKMALAYA

LAPORAN
YANGGI FAJAR IRLANA
MANONJAYA

SEBELUM ke Sukapura, niatan awal Jaya Wisesa bersama Jaya Perkosa berangkat dari Sumedang menuju Banten untuk melaksanakan tugas perang. Namun, saat di perjalanan Eyang Jalari ini batal ke Banten. Jaya Wisesa malah berjalan menuju arah selatan dan akhirnya sampai di Gunung Cakrabuana. 
Cakrabuana merupakan salah satu gunung yang diyakini bekas tempat pertemuan para wali. Lokasinya di perbatasan antara lima kabupaten. Antara lain Sumedang, Majalengka, Garut, Tasikmalaya dan Ciamis.
Jaya Wisesa lama menetap di Gunung Cakrabuana.  Sedangkan kisah perjalanannya sampai di Sukapura, diawali setelah mendapat wangsit bahwa dirinya harus berangkat ke suatu daerah, mengikuti alur sungai yang saat ini bernama Citanduy. Nanti, Eyang Jalari ini akan menemukan pertemuan dua sungai. Setelah sampai di persimpangan sungai harus berhenti. Di situlah Jaya Wisesa harus bermukim. 
“Jaya Wisesa mengikuti wangsit tersebut. Dan, beberapa hari menyusuri sungai serta sampailah di tempat yang disebutkan dalam wangsit yaitu pertemuan antara dua sungai,” jelas Kepala Seksi Bina Wisata Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Tasikmalaya Asep Herman kepada Radar, kemarin (1/10).
Setelah menemukan tempat sesuai wangsit, Jaya Wisesa langsung naik dari sungai dan sampailah di suatu kampung yang bernama Cikupa (saat ini Cikondang, Red), daerah Kecamatan Cineam. Sampai di Cikupa, Jaya Wisesa langsung bermukim dan mengaku bernama Jalari. “Dan dari situ langsung dikenal Mbah atau Eyang Jalari,” terang Asep. 
Masyarakat Cikupa menilai Jalari sebagai seorang tokoh yang cukup baik. Jalari langsung mengabdi dengan membina masyarakat setempat yang biasa mengambil mata pencaharian dari hutan dan pembuat gula. Pada waktu itu nama Cikondang cukup dikenal di daerah lain atas kualitas gula hasil binaan Jalari. “Bahkan sampai saat ini gula di Cineam merupakan gula terbaik yang bernama gula pacar gantung,” tutur Asep.
Semasa tinggal di Cikondang, Mbah Jalari pun menjadi saksi sejarah pemberhentian Raden Anggadipa II yang bergelar Wiradadaha VIII dari jabatannya sebagai Bupati Sukapura oleh Belanda. Anggadipa II yang menolak intruksi Belanda yang ingin merubah fungsi lahan pertanian masyarakat menjadi perkebunan pohon nila itu digantikan oleh Suryalaga, seorang dalem dari Sumedang. 
Semasa menjabat dua tahun sebagai Bupati Sukapura, Suryalaga diminta oleh Bupati Sumedang untuk mencari saudaranya bernama Jaya Wisesa. Suryalaga pun langsung membuat pengumuman kepada seluruh masyarakat apabila ada yang mengenal Jalari agar dibawa ke Pendopo Sukapura. 
Setelah berita tersiar, akhirnya ada masyarakat yang mengenal Jaya Wisesa yang telah berganti nama menjadi Jalari dan menyampaikan keberadaanya kepada Suryalaga. Setelah mendapat kabar, Bupati Sukapura ini menyuruh utusannya untuk menjemput Jalari dari Cikupa ke kabupaten. Namun, Jalari menolak untuk datang ke kabupaten apalagi akan dijemput keluarga dari Sumedang. 
Jalari meminta izin kepada Suryalaga untuk menetap di salah satu tempat di wilayah Sukapura. Jalari ingin memberikan sesuatu yang bermanfaat untuk rakyat Sukapura supaya lahan pertaniannya subur.
Setelah diizinkan, Jalari berangkat bersama keluarganya dari Cineam ke Pasirpanjang, Manonjaya tepatnya di Gunung Putri, sebelah selatan Kantor Kabupaten Sukapura.
Selama menetap di Gunung Putri, Jaya Wisesa berkeliling kampung. Kemudian saat berada di Kampung Pangaduan, Jalari menemukan sumber air yang cukup besar yang bisa dimanfaatkan untuk mengaliri semua lahan sawah masyarakat. “Apabila bisa dimanfaatkan tentu akan menjadikan sawah-sawah di sekitarnya menjadi subur,” kata Asep. (*/Bersambung)

Menelusuri Peninggalan Sejarah di Tanah Sukapura (6)

Radar Tasikmalaya Edisi Rabu, 1 Oktober 2014

Makam-Makam di Tanjungmalaya Dijadikan Kajian Histori


Dusun Sukasirna Desa/Kecamatan Manonjaya menjadi tempat peristirahatan terakhir para kanjeng dalem di masa Pemerintahan Sukapura. Di komplek pemakaman yang diberi nama Tanjungmalaya ini juga terdapat makam para kerabat dan keluarga bupati keturunan Sukapura. 

LAPORAN
BERSIH. Tempat pemakaman Bupati Sukapura yang
diberi nama Tanjungmalaya di Dusun Sukasirna
Desa/Kecamatan Manonjaya nampak bersih dan rapih.
YANGGI F IRLANA
MANONJAYA

Melihat pemakaman di Dusun Sukasirna sedikit aneh dibandingkan dengan pemakaman lainnya. Pasalnya, hampir semua lingkungan dan sekitar makam diberikan benteng dan pagar. Selain itu, makam yang cukup banyak itu juga dinaungi bangunan yang terbuat dari tembok dan genting. Tapi ada juga yang diberikan peneduh menggunakan seng dan yang lainnya. 
Komplek pemkaman Tanjungmalaya juga terbilang rapih dan bersih. Karena ada beberapa kuncen yang menjaga dan membersihkan tempat pemakaman. Pada komplek pemakaman ini terdapat beberapa kelompok makam. Pengelompokan ini dilakukan karena pemakaman tersebut tidak mempunyai lahan yang rata bahkan relatif berbukit.
Di komplek kesatu, makam Tanjungmalaya terletak di sebelah selatan. Kelompok tersebut dibatasi dengan dinding dan pintu berupa gapura paduraksa yang dilengkapi dengan pos jaga. Area kelompok makam ini berbukit dan bangunannya memiliki cungkup dengan lantai berdenah huruf  T dan beratap genting.  
Di komplek pemakaman kesatu inilah disemayamkan Bupati Sukapura Raden Tumenggung (RT) Wirahadiningrat yang dikenal dengan panggilan Dalem Bintang. Wirahadiningrat ini semula bernama RT Danoeningrat. Selain itu, ada RT A Wiratanoebaya (R Ranggawiradimanggala), bupati ke-X (1844-1855),  RT A Soenarja, RA Wiradadaha VIII, RT A Adiningrat dan RT A Wira Adegdaha.
“Dan yang pertama kali dimakamkan disini adalah Dalem Bintang,” ujar Kasi Bina Wisata Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Tasikmalaya Asep Herman saat ditemui Radar di kantornya, kemarin (30/9). 
Sedangankan kelompok makam kedua, terletak di sebelah barat. Di komplek ini terdapat makam Bupati Wiratanuningrat beserta keluarga. Bagian tersebut dibatasi dengan pagar keliling berupa tembok yang dilengkapi dengan pintu gapura bentar. Pada bagian ini terdapat tujuh cungkup dan 27 makam. Secara umum, makam para bupati dilengkapi dengan payung berwarna kuning.
Kelompok makam ketiga, terletak di sebelah utara. Di sini ada makam Bupati  R A A Wiradiputra beserta keluarga. Bagian tersebut dibatasi dengan pagar keliling berupa tembok yang dilengkapi dengan pintu gapura bentar. Pada bagian ini terdapat lima cungkup  dan 16 makam.  “Wiradiputra merupakan Bupati Tasikmalaya Keturunan Sukapura yang dimakamkan disini,” jelasnya. 
Untuk kelompok makam keempat terletak di sebelah barat kelompok makam ketiga. Di area ini berisi tokoh Pasundan, keturunan Sulaweai Selatan. Yaitu Daeng Kanuruhan Adiwinata. Bagian ini dibatasi dengan pagar keliling dan dilengkapi dengan pintu. 
Disamping keempat kelompok makam tersebut, di komplek makam para bupati ini juga terdapat kelompok makam umum. Makam umum tersebut terletak di sebelah timur kelompok makam yang pertama.
Saat ini, Tanjungmalaya juga banyak dijadikan lokasi ziarah oleh masyarakat umum atau keluarga keturunan yang dimakamkan disitu. Kalau masyarakat umum biasanya melakukan penelitian tentang sejarah makam Sukapura tersebut. (*/Bersambung)

Menelusuri Peninggalan Sejarah di Tanah Sukapura (5)

Radar Tasikmalaya Edisi Selasa, 30 September 2014

Hasil Bumi Dikirim ke Belanda dari Stasion KA Manonjaya


STASION Kereta Api (KA) Manonjaya merupakan salah satu aset peninggalan Pemerintah Sukapura. Stasion bersejarah ini berada di Desa Manonjaya yang awalnya difungsikan sebagai jalur transportasi untuk mengangkut hasil bumi. 
BERSEJARAH. Stasion Kereta Api Manonjaya masih
terawat dengan mempertahankan desain bangunan masa
Pemerintahan Sukapura di Manonjaya kemarin (29/9).
FOTO: YANGGI F IRLANA / RADAR TASIKMALAYA



LAPORAN
YANGGI FAJAR IRLANA
MANONJAYA

Stasiun KA Manonjaya masih terlihat kokoh dan kuno di tengah bangunan yang modern. Itu merupakan sebagian kecil peninggalan Belanda pada zaman Pemerintahan Sukapura yang masih terawat dengan baik. Kondisinya hampir 90 persen masih asli seperti pertama kali dibangun.
Warna cat dinding putih dipadukan dengan kayu berwarna abu-abu menunjukkan kekhasan dari bangunan bekas transfortasi tersebut. Namun sangat disayangkan bangunan bersejarah itu, saat ini sudah tidak lagi difungsikan sebagai mana mestinya. Padahal jika menengok zaman dulu, stasiun yang berdiri sekitar tahun 1886 ini menjadi center transfortasi untuk mendukung perkembangan Ibu Kota Pemerintahan Sukpaura yang pada waktu itu pindah dari Sukaraja ke Manonjaya. 
“Dibangunnya stasiun di Manonjaya, karena pusat pemirntahan kan disitu,” ujar Kasi Bina Wisata Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Tasikmalaya Asep Herman saat ditemui Radar di kantornya kemarin (29/9).
Dijelaskan dia, pada masanya stasiun tersebut memang dipergunakan sebagai transfortasi masyarakat. Namun itu juga dipergunakan untuk mengakut hasil pertanian, rempah-rempah dari Sukapura yang akan dikirimkan ke Belanda melalui jalur kereta.
“Yang salah satunya bisa dipergunakan untuk memgangkut pohon nila dan bibitnya yang dikirim ke daerah lain untuk ditanam. Pasalnya, di Manonjaya kan ada gudang pohon nila di komplek Tangsi,” beber Asep. 
Jadi stasiun tersebut pada zamannya sangat vital untuk kebutuhan Belanda mengangkut hasil bumi Sukapura dan sekitarnya. Karena memang pada waktu itu tanah Sukapura sangat subur dan banyak beragam pohon serta rempah-rempah.
Sedangkan stasiun KA itu kemungkinan besar dibangun berdekatan dengan waktu perpindahan Sukapura dari Sukaraja ke Manonjaya. Sistem pembangunnya satu paket antara jalur keretanya dengan stasiun di Manonjaya dan Ciawi. Karena melihat bangunan yang di Ciawi serupa dengan di Manonjaya.
Ciri khas stasiun KA di Manonjaya ini terletak pada kunci pintu asli yang masih ada sejak pertama dibangun sampai sekarang. Kemudian kursi pengunjung terbuat dari kayu jati juga masih terawat dengan baik tidak sampai dihilangkan. “Ya barang-barang tersebut sangat berharga dan mempunyai nilai sejarah yang tinggi,” terang Asep. (*/Bersambung)


Menelusuri Peninggalan Sejarah di Tanah Sukapura (4)

Radar Tasikmalaya Edisi Senin, 29 September 2014

Benteng Pendopo Manonjaya Dilarang Dirusak


Pasca Pemerintahan Sukapura dipindah dari Sukaraja ke Manonjaya, pemerintahan di masa itu mulai membangun pusat perkantoran di kecamatan yang ada Tasik Timur ini. Salah satunya pendopo yang didirikan sekitar tahun 1832. 
MASIH KOKOH. Pengendara bermotor melintas di Jalan
Alun-alun Manonjaya depan benteng pagar Pendopo
Manonjaya peninggalan Pemerintahan Sukapura kemarin (28/9).
FOTO: YANGGI F IRLANA RADAR TASIKMALAYA

LAPORAN
YANGGI FAJAR IRLANA
MANONJAYA

PENDOPO selalu menjadi ikon keberadaan pusat pemerintahan baik di masa Pemerintahan Sukapura maupun Kabupaten Tasikmalaya saat ini. Di Kecamatan Manonjaya pendopo dibangun di Desa Manonjaya tepatnya di samping alun-alun.
Bangunan Pendopo Manonjaya yang masih tersisa hingga sekarang yaitu benteng pagar sepanjang 30 meter dengan ketinggian 1,5 meter. Beteng ini diyakini peninggalan Pemerintahan Sukapura karena ornamen bangunannya mirip  tembok profil Masjid Agung Manonjaya. 
“Memang yang tersisa saat ini hanya benteng pagernya saja. Dan, bangunan di dalamnya sudah tidak ada seperti pendopo dan kaputren (rumah dinas),” ujar Kasi Bina Wisata Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Tasikmalaya Asep Herman kepada Radar, kemarin (28/9).
Adanya kemiripan ornamen tersebut maka diprediksi Pendopo Pemerintah Sukapura di Manonjaya didirikan tahun 1832. Awalnya Pendopo Manonjaya itu adalah rumah pribadi Kanjeng Dalem Raden Tumenggung Danuningrat yang saat itu menjabat Distrik Pasirpanjang.
Benteng Pendopo Manonjaya yang masih kokoh itu terbuat dari batu kali dengan spesifikasi kapur, bata merah ditumbuk dan bahan pendukung lainnya. Dengan racikan bahan-bahan tersebut benteng pendopo bersejarah ini tetap kuat walaupun tidak terawat.
Untuk menjaga kelestariannya, Disparbud Kabupaten Tasikmalaya melarang masyarakat atau pihak manapun menghancurkan sisa benteng pagar Pendopo Manonjaya. Apalagi, tanah dan benteng tersebut kini milik Yayasan Sukapura. “Banyak masyarakat juga yang tahu bahwa benteng tersebut memiliki sejarah,” kata Asep. 
Sementara, kondisi bangunan Pendopo Manonjaya sudah musnah pasca pusat pemerintahan di Manonjaya pindah ke Tasikmalaya (saat ini Kota Tasikmalaya). Musnahnya pendopo ini karena rusak akibat tidak terurus. 
Sementara, benteng tersebut saat ini dimanfaatkan pedagang untuk berjualan. Pedagang maupun masyarakat lainnya tidak akan berani mengganggu dan merusak aset bersejarah itu. 
Pemkab Tasikmalaya berencana mengontruksi bekas pendopo. Pembangunannya akan didesain mirip dengan pendopo masa Pemerintahan Sukapura agar menjadi pengetahuan bagi masyarakat. “Dan nantinya juga bisa menjadi musium,” katanya. (*/Bersambung)