Selasa, 07 Oktober 2014

Menelusuri Peninggalan Sejarah di Tanah Sukapura (8)

Radar Tasikmalaya Edisi Jumat, 3 Oktober 2014 

Jalari Buat Situ Cipajaran, Cilambu, Cibubuhan, Cibeureum


Jaya Wisesa yang dikenal dengan sebutan Eyang Jalari mengabdikan hidupnya untuk menyuburkan tanah Sukapura. Jalari pun membuat bendungan air seorang diri untuk mengaliri pertanian masyarakat. 
SUMBER AIR. Situ Cilambu di Manonjaya yang dibuat
Eyang Jalari sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
FOTO: YANGGI F IRLANA / RADAR TASIKMALAYA

LAPORAN
YANGGI FAJAR IRLANA 
MANONJAYA

SETELAH Jalari menemukan sumber air yang cukup bagus di Pasirpanjang, Manonjaya, Jalari langsung meminta izin kepada Bupati Sukapura Suryalaga untuk membendung sawah di sekitar sumber air tersebut untuk dijadikan bendungan. Setelah direstui Jalari pun membuat bendungan seorang diri. 
Mengawali pekerjaannya, Jaya Wisesa mempersiapkan peralatan berupa cangkul, linggis dan lain-lain. Pembuatan bendungan selalu dikerjakan di malam hari. Jalari ditemani seorang badega (pembantu) yang masih anak-anak. Tugas pembantu ini hanya membuatkan nasi liwet untuk makan Jalari.  
Bendungan yang dibuat Jaya Wisesa pun berubah menjadi situ. Agar airnya tetap melimpah, Jaya Wisesa berangkat ke Bogor untuk mengambil air dari Situ Sipatahunan. Air dari Situ Sipatahunan itu diangkut dengan bambu tamiang satu ruas (buku) yang dilobangi, kemudian disatukan dengan air situ yang dibuat Jalari di Pasirpanjang. “Adapun tamiang bekas membawa air tersebut ditanam di sekitar bendungan (situ) yang dinamakan Situ Cipajaran yang mengandung arti situ yang dibuat setiap waktu fajar dan merupakan situ yang pertama dibuat. Selanjutnya diikuti oleh masyarakat sekitar dengan bergotong royong membuat saluran air (parit) untuk menyalurkan luberan air dari pembuangan situ,” terang Kasi Bina Wisata Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Tasikmalaya Asep Herman.. 
Berhubung air yang terbuang dari situ Cipajaran masih meluber di parit, Jalari membendung lagi luberan air tersebut di daerah Cipetir. Karena kesuburan situ tersebut, Jalari membuat lagi bendungan (situ) yang cukup luas yang diberi nama Situ Cilambu di Desa Margahayu Kecamatan Manonjaya. Selanjutnya luberan air dari Situ Cilambu dialirkan ke Kampung Pasirpanjang. Jalari pun membuat lagi bendungan yang diberi nama Situ Cibubuhan.
Setelah proses pembuatan Situ Cibubuhan selesai, membuat Situ Cibeureum yang saat ini berlokasi di Kecamatan Tamansari Kota Tasikmalaya. Sampai saat ini lokasi-lokasi situ yang pernah dibuat Jalari tidak semuanya masih berupa situ atau bendungan. Mungkin ada yang sudah menjadi kolam sawah dan yang lainnya. Sedangkan untuk Situ Cibeureum dan Cilambu itu masih terawat karena dekat dengan jalan raya.
Dengan pembuatan situ terebut otomatis pesawahan di Kabupaten Sukapura menjadi subur karena banyaknya sumber mata air yang mengalir. Tugas Jalari untuk membuat subur tanah Sukapura pun terbilang berhasil. (*/Bersambung)

Senin, 06 Oktober 2014

Menelusuri Peninggalan Sejarah di Tanah Sukapura (7)

Radar Tasikmalaya Edisi Kamis, 2 Oktober 2014 

Jaya Wisesa Suburkan Lahan Pertanian Masyarakat 


Raden Jaya Wisesa yang dikenal dengan sebutan Eyang Jalari merupakan keturunan ningrat Sumedang yang datang ke Tasikmalaya abad XIX, periode Bupati Sukapura Wiradadaha VIII. Saudara dari Jaya Perkosa ini mengabdi di Sukapura untuk bertugas menyuburkan lahan pertanian.  
BERSEJARAH. Makam Eyang Jalari di Desa Tanjungsari
Gunungtanjung.
FOTO: YANGGI F IRLANA / RADAR TASIKMALAYA

LAPORAN
YANGGI FAJAR IRLANA
MANONJAYA

SEBELUM ke Sukapura, niatan awal Jaya Wisesa bersama Jaya Perkosa berangkat dari Sumedang menuju Banten untuk melaksanakan tugas perang. Namun, saat di perjalanan Eyang Jalari ini batal ke Banten. Jaya Wisesa malah berjalan menuju arah selatan dan akhirnya sampai di Gunung Cakrabuana. 
Cakrabuana merupakan salah satu gunung yang diyakini bekas tempat pertemuan para wali. Lokasinya di perbatasan antara lima kabupaten. Antara lain Sumedang, Majalengka, Garut, Tasikmalaya dan Ciamis.
Jaya Wisesa lama menetap di Gunung Cakrabuana.  Sedangkan kisah perjalanannya sampai di Sukapura, diawali setelah mendapat wangsit bahwa dirinya harus berangkat ke suatu daerah, mengikuti alur sungai yang saat ini bernama Citanduy. Nanti, Eyang Jalari ini akan menemukan pertemuan dua sungai. Setelah sampai di persimpangan sungai harus berhenti. Di situlah Jaya Wisesa harus bermukim. 
“Jaya Wisesa mengikuti wangsit tersebut. Dan, beberapa hari menyusuri sungai serta sampailah di tempat yang disebutkan dalam wangsit yaitu pertemuan antara dua sungai,” jelas Kepala Seksi Bina Wisata Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Tasikmalaya Asep Herman kepada Radar, kemarin (1/10).
Setelah menemukan tempat sesuai wangsit, Jaya Wisesa langsung naik dari sungai dan sampailah di suatu kampung yang bernama Cikupa (saat ini Cikondang, Red), daerah Kecamatan Cineam. Sampai di Cikupa, Jaya Wisesa langsung bermukim dan mengaku bernama Jalari. “Dan dari situ langsung dikenal Mbah atau Eyang Jalari,” terang Asep. 
Masyarakat Cikupa menilai Jalari sebagai seorang tokoh yang cukup baik. Jalari langsung mengabdi dengan membina masyarakat setempat yang biasa mengambil mata pencaharian dari hutan dan pembuat gula. Pada waktu itu nama Cikondang cukup dikenal di daerah lain atas kualitas gula hasil binaan Jalari. “Bahkan sampai saat ini gula di Cineam merupakan gula terbaik yang bernama gula pacar gantung,” tutur Asep.
Semasa tinggal di Cikondang, Mbah Jalari pun menjadi saksi sejarah pemberhentian Raden Anggadipa II yang bergelar Wiradadaha VIII dari jabatannya sebagai Bupati Sukapura oleh Belanda. Anggadipa II yang menolak intruksi Belanda yang ingin merubah fungsi lahan pertanian masyarakat menjadi perkebunan pohon nila itu digantikan oleh Suryalaga, seorang dalem dari Sumedang. 
Semasa menjabat dua tahun sebagai Bupati Sukapura, Suryalaga diminta oleh Bupati Sumedang untuk mencari saudaranya bernama Jaya Wisesa. Suryalaga pun langsung membuat pengumuman kepada seluruh masyarakat apabila ada yang mengenal Jalari agar dibawa ke Pendopo Sukapura. 
Setelah berita tersiar, akhirnya ada masyarakat yang mengenal Jaya Wisesa yang telah berganti nama menjadi Jalari dan menyampaikan keberadaanya kepada Suryalaga. Setelah mendapat kabar, Bupati Sukapura ini menyuruh utusannya untuk menjemput Jalari dari Cikupa ke kabupaten. Namun, Jalari menolak untuk datang ke kabupaten apalagi akan dijemput keluarga dari Sumedang. 
Jalari meminta izin kepada Suryalaga untuk menetap di salah satu tempat di wilayah Sukapura. Jalari ingin memberikan sesuatu yang bermanfaat untuk rakyat Sukapura supaya lahan pertaniannya subur.
Setelah diizinkan, Jalari berangkat bersama keluarganya dari Cineam ke Pasirpanjang, Manonjaya tepatnya di Gunung Putri, sebelah selatan Kantor Kabupaten Sukapura.
Selama menetap di Gunung Putri, Jaya Wisesa berkeliling kampung. Kemudian saat berada di Kampung Pangaduan, Jalari menemukan sumber air yang cukup besar yang bisa dimanfaatkan untuk mengaliri semua lahan sawah masyarakat. “Apabila bisa dimanfaatkan tentu akan menjadikan sawah-sawah di sekitarnya menjadi subur,” kata Asep. (*/Bersambung)

Menelusuri Peninggalan Sejarah di Tanah Sukapura (6)

Radar Tasikmalaya Edisi Rabu, 1 Oktober 2014

Makam-Makam di Tanjungmalaya Dijadikan Kajian Histori


Dusun Sukasirna Desa/Kecamatan Manonjaya menjadi tempat peristirahatan terakhir para kanjeng dalem di masa Pemerintahan Sukapura. Di komplek pemakaman yang diberi nama Tanjungmalaya ini juga terdapat makam para kerabat dan keluarga bupati keturunan Sukapura. 

LAPORAN
BERSIH. Tempat pemakaman Bupati Sukapura yang
diberi nama Tanjungmalaya di Dusun Sukasirna
Desa/Kecamatan Manonjaya nampak bersih dan rapih.
YANGGI F IRLANA
MANONJAYA

Melihat pemakaman di Dusun Sukasirna sedikit aneh dibandingkan dengan pemakaman lainnya. Pasalnya, hampir semua lingkungan dan sekitar makam diberikan benteng dan pagar. Selain itu, makam yang cukup banyak itu juga dinaungi bangunan yang terbuat dari tembok dan genting. Tapi ada juga yang diberikan peneduh menggunakan seng dan yang lainnya. 
Komplek pemkaman Tanjungmalaya juga terbilang rapih dan bersih. Karena ada beberapa kuncen yang menjaga dan membersihkan tempat pemakaman. Pada komplek pemakaman ini terdapat beberapa kelompok makam. Pengelompokan ini dilakukan karena pemakaman tersebut tidak mempunyai lahan yang rata bahkan relatif berbukit.
Di komplek kesatu, makam Tanjungmalaya terletak di sebelah selatan. Kelompok tersebut dibatasi dengan dinding dan pintu berupa gapura paduraksa yang dilengkapi dengan pos jaga. Area kelompok makam ini berbukit dan bangunannya memiliki cungkup dengan lantai berdenah huruf  T dan beratap genting.  
Di komplek pemakaman kesatu inilah disemayamkan Bupati Sukapura Raden Tumenggung (RT) Wirahadiningrat yang dikenal dengan panggilan Dalem Bintang. Wirahadiningrat ini semula bernama RT Danoeningrat. Selain itu, ada RT A Wiratanoebaya (R Ranggawiradimanggala), bupati ke-X (1844-1855),  RT A Soenarja, RA Wiradadaha VIII, RT A Adiningrat dan RT A Wira Adegdaha.
“Dan yang pertama kali dimakamkan disini adalah Dalem Bintang,” ujar Kasi Bina Wisata Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Tasikmalaya Asep Herman saat ditemui Radar di kantornya, kemarin (30/9). 
Sedangankan kelompok makam kedua, terletak di sebelah barat. Di komplek ini terdapat makam Bupati Wiratanuningrat beserta keluarga. Bagian tersebut dibatasi dengan pagar keliling berupa tembok yang dilengkapi dengan pintu gapura bentar. Pada bagian ini terdapat tujuh cungkup dan 27 makam. Secara umum, makam para bupati dilengkapi dengan payung berwarna kuning.
Kelompok makam ketiga, terletak di sebelah utara. Di sini ada makam Bupati  R A A Wiradiputra beserta keluarga. Bagian tersebut dibatasi dengan pagar keliling berupa tembok yang dilengkapi dengan pintu gapura bentar. Pada bagian ini terdapat lima cungkup  dan 16 makam.  “Wiradiputra merupakan Bupati Tasikmalaya Keturunan Sukapura yang dimakamkan disini,” jelasnya. 
Untuk kelompok makam keempat terletak di sebelah barat kelompok makam ketiga. Di area ini berisi tokoh Pasundan, keturunan Sulaweai Selatan. Yaitu Daeng Kanuruhan Adiwinata. Bagian ini dibatasi dengan pagar keliling dan dilengkapi dengan pintu. 
Disamping keempat kelompok makam tersebut, di komplek makam para bupati ini juga terdapat kelompok makam umum. Makam umum tersebut terletak di sebelah timur kelompok makam yang pertama.
Saat ini, Tanjungmalaya juga banyak dijadikan lokasi ziarah oleh masyarakat umum atau keluarga keturunan yang dimakamkan disitu. Kalau masyarakat umum biasanya melakukan penelitian tentang sejarah makam Sukapura tersebut. (*/Bersambung)

Menelusuri Peninggalan Sejarah di Tanah Sukapura (5)

Radar Tasikmalaya Edisi Selasa, 30 September 2014

Hasil Bumi Dikirim ke Belanda dari Stasion KA Manonjaya


STASION Kereta Api (KA) Manonjaya merupakan salah satu aset peninggalan Pemerintah Sukapura. Stasion bersejarah ini berada di Desa Manonjaya yang awalnya difungsikan sebagai jalur transportasi untuk mengangkut hasil bumi. 
BERSEJARAH. Stasion Kereta Api Manonjaya masih
terawat dengan mempertahankan desain bangunan masa
Pemerintahan Sukapura di Manonjaya kemarin (29/9).
FOTO: YANGGI F IRLANA / RADAR TASIKMALAYA



LAPORAN
YANGGI FAJAR IRLANA
MANONJAYA

Stasiun KA Manonjaya masih terlihat kokoh dan kuno di tengah bangunan yang modern. Itu merupakan sebagian kecil peninggalan Belanda pada zaman Pemerintahan Sukapura yang masih terawat dengan baik. Kondisinya hampir 90 persen masih asli seperti pertama kali dibangun.
Warna cat dinding putih dipadukan dengan kayu berwarna abu-abu menunjukkan kekhasan dari bangunan bekas transfortasi tersebut. Namun sangat disayangkan bangunan bersejarah itu, saat ini sudah tidak lagi difungsikan sebagai mana mestinya. Padahal jika menengok zaman dulu, stasiun yang berdiri sekitar tahun 1886 ini menjadi center transfortasi untuk mendukung perkembangan Ibu Kota Pemerintahan Sukpaura yang pada waktu itu pindah dari Sukaraja ke Manonjaya. 
“Dibangunnya stasiun di Manonjaya, karena pusat pemirntahan kan disitu,” ujar Kasi Bina Wisata Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Tasikmalaya Asep Herman saat ditemui Radar di kantornya kemarin (29/9).
Dijelaskan dia, pada masanya stasiun tersebut memang dipergunakan sebagai transfortasi masyarakat. Namun itu juga dipergunakan untuk mengakut hasil pertanian, rempah-rempah dari Sukapura yang akan dikirimkan ke Belanda melalui jalur kereta.
“Yang salah satunya bisa dipergunakan untuk memgangkut pohon nila dan bibitnya yang dikirim ke daerah lain untuk ditanam. Pasalnya, di Manonjaya kan ada gudang pohon nila di komplek Tangsi,” beber Asep. 
Jadi stasiun tersebut pada zamannya sangat vital untuk kebutuhan Belanda mengangkut hasil bumi Sukapura dan sekitarnya. Karena memang pada waktu itu tanah Sukapura sangat subur dan banyak beragam pohon serta rempah-rempah.
Sedangkan stasiun KA itu kemungkinan besar dibangun berdekatan dengan waktu perpindahan Sukapura dari Sukaraja ke Manonjaya. Sistem pembangunnya satu paket antara jalur keretanya dengan stasiun di Manonjaya dan Ciawi. Karena melihat bangunan yang di Ciawi serupa dengan di Manonjaya.
Ciri khas stasiun KA di Manonjaya ini terletak pada kunci pintu asli yang masih ada sejak pertama dibangun sampai sekarang. Kemudian kursi pengunjung terbuat dari kayu jati juga masih terawat dengan baik tidak sampai dihilangkan. “Ya barang-barang tersebut sangat berharga dan mempunyai nilai sejarah yang tinggi,” terang Asep. (*/Bersambung)


Menelusuri Peninggalan Sejarah di Tanah Sukapura (4)

Radar Tasikmalaya Edisi Senin, 29 September 2014

Benteng Pendopo Manonjaya Dilarang Dirusak


Pasca Pemerintahan Sukapura dipindah dari Sukaraja ke Manonjaya, pemerintahan di masa itu mulai membangun pusat perkantoran di kecamatan yang ada Tasik Timur ini. Salah satunya pendopo yang didirikan sekitar tahun 1832. 
MASIH KOKOH. Pengendara bermotor melintas di Jalan
Alun-alun Manonjaya depan benteng pagar Pendopo
Manonjaya peninggalan Pemerintahan Sukapura kemarin (28/9).
FOTO: YANGGI F IRLANA RADAR TASIKMALAYA

LAPORAN
YANGGI FAJAR IRLANA
MANONJAYA

PENDOPO selalu menjadi ikon keberadaan pusat pemerintahan baik di masa Pemerintahan Sukapura maupun Kabupaten Tasikmalaya saat ini. Di Kecamatan Manonjaya pendopo dibangun di Desa Manonjaya tepatnya di samping alun-alun.
Bangunan Pendopo Manonjaya yang masih tersisa hingga sekarang yaitu benteng pagar sepanjang 30 meter dengan ketinggian 1,5 meter. Beteng ini diyakini peninggalan Pemerintahan Sukapura karena ornamen bangunannya mirip  tembok profil Masjid Agung Manonjaya. 
“Memang yang tersisa saat ini hanya benteng pagernya saja. Dan, bangunan di dalamnya sudah tidak ada seperti pendopo dan kaputren (rumah dinas),” ujar Kasi Bina Wisata Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Tasikmalaya Asep Herman kepada Radar, kemarin (28/9).
Adanya kemiripan ornamen tersebut maka diprediksi Pendopo Pemerintah Sukapura di Manonjaya didirikan tahun 1832. Awalnya Pendopo Manonjaya itu adalah rumah pribadi Kanjeng Dalem Raden Tumenggung Danuningrat yang saat itu menjabat Distrik Pasirpanjang.
Benteng Pendopo Manonjaya yang masih kokoh itu terbuat dari batu kali dengan spesifikasi kapur, bata merah ditumbuk dan bahan pendukung lainnya. Dengan racikan bahan-bahan tersebut benteng pendopo bersejarah ini tetap kuat walaupun tidak terawat.
Untuk menjaga kelestariannya, Disparbud Kabupaten Tasikmalaya melarang masyarakat atau pihak manapun menghancurkan sisa benteng pagar Pendopo Manonjaya. Apalagi, tanah dan benteng tersebut kini milik Yayasan Sukapura. “Banyak masyarakat juga yang tahu bahwa benteng tersebut memiliki sejarah,” kata Asep. 
Sementara, kondisi bangunan Pendopo Manonjaya sudah musnah pasca pusat pemerintahan di Manonjaya pindah ke Tasikmalaya (saat ini Kota Tasikmalaya). Musnahnya pendopo ini karena rusak akibat tidak terurus. 
Sementara, benteng tersebut saat ini dimanfaatkan pedagang untuk berjualan. Pedagang maupun masyarakat lainnya tidak akan berani mengganggu dan merusak aset bersejarah itu. 
Pemkab Tasikmalaya berencana mengontruksi bekas pendopo. Pembangunannya akan didesain mirip dengan pendopo masa Pemerintahan Sukapura agar menjadi pengetahuan bagi masyarakat. “Dan nantinya juga bisa menjadi musium,” katanya. (*/Bersambung)

Sabtu, 04 Oktober 2014

Menelusuri Peninggalan Sejarah di Tanah Sukapura (3)

PENINGGALAN SEJARAH. Seorang pemuda berada 
di depan bangunan bekas gudang pohon nila Belanda 
di area Kantor Pemerintah Kecamatan Manonjaya.
FOTO: YANGGI F IRLANA / RADAR TASIKMALAYA

Radar Tasikmalaya edisi Sabtu, 27 september 2014

Gudang Nila Simbol Pemecatan Anggadipa II


Selain babancong dan masjid agung kuno, di Kecamatan Manonjaya juga ada Komplek Asrama Tentara Belanda yang disebut Tangsi pada masa Pemerintahan Sukapura. Lokasinya di Komplek Kantor Pemerintah Kecamatan Manonjaya.

LAPORAN
YANGGI F IRLANA
MANONJAYA

KATA Tangsi mungkin masih asing terdengar di telinga masyarakat luar Manonjaya. Pasalnya, kata tersebut konon berasal dari Bahasa Belanda yang menunjukkan adanya perumahan atau asrama pertahanan tentara kolonial.
Tapi bagi masyarakat Manonjaya, kata Tangsi tidak asing lagi. Karena sudah dijadikan nama jalan dan daerah di Desa Margaluyu.
Selain itu, keberadaan Tangsi juga sudah banyak diketahui yang tidak lain adalah komplek kantor dan asrama para Tentara Belanda. Di bekas markas para penjajah tersebut, hingga saat ini masih ada gudang peyimpanan pohon nila. Bangunan bangsa penjajah itu diperkirakan sudah berdiri sebelum Pemerintahan Sukapura pindah dari Sukaraja ke Manonjaya.
“Tangsi dibangun pada saat Belanda masuk ke Manonjaya sekitar 1.800 kurang lebih. Yang pasti sebelum Sukapura ke Manonjaya,” ujar Kasi Bina Wisata Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Tasikmalaya Asep Herman.
Komplek Tangsi, pada masanya dijadikan pusat kantor pertahanan tentara Belanda wilayah Distrik Pasirpanjang Manonjaya. Bangunannya terdiri dari kantor, rumah dinas atau asrama, gudang dan sumur. Kondisi bangunan tersebut saat ini sudah habis termakan usia. Yang tersisa hanya bagian gudang penyimpanan pohon nila yang berada tepat di belakang Kantor Kecamatan Manonjaya.
“Yang gudang bangunannya masih ada namun kurang terurus sehingga mulai rusak. Dan, itu sangat jelas bangunan kolonial dilihat dari ornamen tembok dipenuhi profil, lantai ubin hitam, atapnya tinggi dan menggunakan genting palentong lama,” jelasnya. “Dan diperkirakan rumah yang ada di komplek tersebut lebih dari lima,” tambahnya.
Keberadaan Tangsi ini menunjukkan bahwa Manonjaya sangat rentan dari serangan para pejuang wilayah timur dan dikhawatirkan datangnya pasukan Diponegoro melalui jalur timur. Makanya, Belanda mendirikan Distrik Pasirpanjang dan diperkuat mengalihkan Pemerintahan Sukapura dari Sukaraja ke Manonjaya. “Tapi meskipun rentan, tidak pernah terjadi serangan dari Ponegoro ke wilayah Manonjaya,” bebernya.
Sementara itu, adanya gudang pohon nila, menandakan bahwa di Manonjaya pernah direncanakan penanaman pohon nila oleh masyarakat Sukapura yang hasilnya dikirimkan ke Belanda.
Namun, adanya peraturan Belanda yang meminta masyarakat untuk menanam pohon nila, mendapat perhatian dan tentangan dari Dalem Wiradadaha VII Raden Anggadipa II. Adanya penolakan tersebut, Belanda langsung memecat Anggadipa II dari jabatanya sebagai Bupati Sukapura dan dibuang ke Bogor sehingga muncullah sebutan Dalem Bogor. “Karena pertimbangan Dalem Sukapura jika pertanian di wilayahnya ditanami nila akan makan apa masyarakatnya yang saat itu menanam padi,” terang Asep.
Setelah Anggadipa II diberhentikan, Belanda mengangkat Dalem Suryalaga menjadi Bupati Sukapura. Sosok dari Sumedang itu diharapkan mampu menyukseskan penanaman pohon nila.
Dalem Suryalaga pun meminta masyarakat menanam pohon nila sesuai instruksi Belanda. Namun, tidak semua masyarakat menurut. Kebanyakan, masyarakat Sukapura menolaknya. Sementara jika ada pohon nila yang ditanam di pagi hari, maka malam harinya disiram oleh air panas sehingga tidak tumbuh. “Dan pada akhirnya Dalem Suryalaga tidak merasa betah, hanya bertahan dua tahun, serta minta kembali ke Sumedang,” jelas Asep.
Pasca ditinggalkan Suryalaga, Sukapura tidak memiliki bupati selama beberapa tahun. Roda pemerintahan pun dikendalikan oleh Belanda. Akhirnya Anggadipa II pun diangkat kembali oleh para Belanda. Dalem Wiradadaha VII menyanggupi menjabat Bupati Sukapura kedualinya dengan syarat tidak ada kewajiban menanam pohon nila di pertanian Sukapura atau Manonjaya, kecuali Galunggung. “Jadi kemungkinan besar tidak ada penanaman pohon nila di Manonjaya,” papar Asep.
Pohon nila kemungkinan hanya ditanam di wilayah Gunung Galunggung. Sementara, di Manonjaya hanya dibangun gudang untuk menyimpan pohon nila.
Sementara, menurut keterangan Sekretaris Desa Manonjaya Yoyon Aryanto, Komplek Tangsi saat ini dihuni oleh keturunan dari pegawai kecamatan dan kewadanaan. (*/Bersambung)

Menelusuri Peninggalan Sejarah di Tanah Sukapura (2)

MASJID KUNO. Tiga siswi SD melintas di trotoar 
depan Masjid Agung Manonjaya kemarin (25/9). 
FOTO: Yanggi F Irlana / Radar Tasikmalaya

Radar Tasikmalaya edisi Jumat, 26 September 2014


Menara Masjid Agung Manonjaya Pemberian Syekh Abdul Muhyi


Masjid Agung Manonjaya merupakan salah satu aset peninggalan sejarah Pemerintahan Sukapura. Sampai saat ini bangunan kuno tersebut masih terawat keasliannya. Walaupun beberapa tahun ke belakang diperbaiki pasca rusak diguncang gempa tahun 2009.


LAPORAN
YANGGI F IRLANA
MANONJAYA

MAYORITAS warga Kabupaten Tasikmalaya sudah mengetahui keberadaan Masjid Agung Manonjaya. Bangunan kuno yang berdiri kokoh di Desa/Kecamatan Manonjaya itu masih mempertahankan ornamen bersejarah.
Masjid agung ini mengalami kerusakan parah tahun 2009 akibat gempa. Namun, secara bertahap Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya memperbaikinya. Sehingga, saat ini masjid kuno tersebut sudah bisa digunakan beribadah oleh masyarakat.
Masjid besar ini awalnya berukuran kecil. Di bagian depannya tidak ada bale nyungcung. Pada tahun 1834 baru dibuat bale nyungcung di sebelah kiri dan kanan.
Pembuatan bale tersebut seiring dengan perpindahan ibukota pemerintahan dari Sukaraja ke Manonjaya. Pada masa ini pula masjid Manonjaya ini diperbesar sesuai dengan kebutuhan.
“Dan sejak dulu para kanjeng dan masyarakat melakukan ibadah di masjid tersebut,” ungkap Kasi Bina Wisata Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Tasikmalaya Asep Herman.
Selain difungsikan sebagai tempat beribadah, zaman dulu masjid agung ini juga dijakan tempat pelaksanaan pernikahan. Hanya saja, acara pernikahan tidak dilakukan di dalam masjid. Melainkan di bale nyungcung yang baru dibangun pada masa perpindahan pemerintahan.
Masjid agung ini dibangun dengan desain yang tidak lazim ada di Tanah Sukapura. Tetapi memiliki ornamen perpaduan bangsa China, Eropa dan Demak Islam. Gaya China itu bisa dilihat dari lespang hiasan kayu yang mirip dengan bangunan-bangunan China.
Sedangkan nuansa Eropa, terlihat pada desain tembok seperti zaman Kolonial Belanda. Hal ini tidak terlepas dari kuatnya budaya Belanda di Priangan Timur. “Kalau untuk bagian atapnya, itu jelas sekali menunjukkan dari Demak Islam,” kata Asep.

Namun, dari semua itu yang menjadi ciri khas dan bersejarah tinggi adalah cungkup atau menara yang berada di puncak paling atas masjid. Konon menara tersebut pemberian dari Kanjeng Syekh Abdul Muhyi Pamijahan dan dari Dalem Kawasen. (*/Bersambung)

Jumat, 03 Oktober 2014

Menelusuri Peninggalan Sejarah di Tanah Sukapura (1)

Peninggalan Sejarah Sukapura

TEDUH. Babancong di Alun-alun Manonjaya dijadikan 
tempat istirahat masyarakat dan pedagang kemarin (24/9). 
FOTO: YANGGI F IRLANA / RADAR TASIKMALAYA


Radar Tasikmalaya Edisi Kamis, 25 September 2014 


Babancong Simbol Keberadaan Pemerintahan 



Kecamatan Manonjaya memiliki banyak simbol-simbol sejarah peninggalan masa Pemerintahan Sukapura. Salah satunya babancong.

LAPORAN
YANGGI F IRLANA
MANONJAYA

Mengunjungi kecamatan di wilayah Tasik Timur ini, Radar banyak menemukan simbol-simbol peninggalan sejarah zaman dulu. Se­perti halnya Masjid Agung Manonjaya yang selalu menjadi pusat perhatian masyarakat.
Selain masjid kuno, ada juga babancong yang masih terawat dan utuh di pinggir Alun-alun Manonjaya.
Babancong merupakan salah satu ciri ada­nya pemerintahan di daerah tersebut, selain adanya alun-alun, masjid, pendopo dan yang lainnya.
Fungsi babancong adalah sebagai tempat inspektur upacara. Kanjeng Dalem beserta jajarannya pun selalu berada di babancong saat upacara.
Kondisi tempat pidato kepala daerah di Manonjaya ini masih 95 persen asli. Baik dari segi bentuk, ukuran dan lainnya.
Perbaikan babancong hanya dilakukan pada bagian atapnya yang rusak dan lantainya dikeramik agar lebih bersih. “Ya wajar ada revitalisasi. Ini kan seumur dengan pem­bu­atan Pendopo Arja Winangun serta ber­sa­maan pengembangan Masjid Manonjaya pada tahun 1834,” terang Kasi Bina Wisata Dinas Pariwisata dan Ke­bu­dayaan (Dis­par­bud) Kabupaten Tasik­ma­laya Asep Herman kepada Radar, kemarin (24/9).
Saat ini, bentuk babancong masih me­ng­gunakan arsitektur Kolonial Belanda. Ciri khasnya yaitu atap kerucut dengan bentuk persegi delapan berdiameter sekitar lima meter.
Babancong Manonjaya masih fungsi tidak berubah dari zaman dulu. “Ini masih di­gu­na­kan ketika upacara dan acara hari besar Islam dan nasional sebagai podium,” ungkap tokoh masyarakat Manonjaya H Oman.
Sementara, di hari-hari biasa babancong dijadikan tempat berteduh dan bermain oleh masyarakat. Karena, tempatnya yang dingin dan segar memberikan rasa nyaman.
Tokoh masyarakat Manonjaya ini pun ber­ha­rap babancong tetap dirawat dan tidak dihilangkan, karena merupakan simbol pe­ning­galan sejarah yang cukup penting.
Sementara, babancong ini tidak hanya ada di Kecamatan Manonjaya. Tetapi juga ada di Kecamatan Singaparna, Ciawi dan di wilayah Tasik Selatan. (*/bersambung)