Sabtu, 04 Oktober 2014

Menelusuri Peninggalan Sejarah di Tanah Sukapura (2)

MASJID KUNO. Tiga siswi SD melintas di trotoar 
depan Masjid Agung Manonjaya kemarin (25/9). 
FOTO: Yanggi F Irlana / Radar Tasikmalaya

Radar Tasikmalaya edisi Jumat, 26 September 2014


Menara Masjid Agung Manonjaya Pemberian Syekh Abdul Muhyi


Masjid Agung Manonjaya merupakan salah satu aset peninggalan sejarah Pemerintahan Sukapura. Sampai saat ini bangunan kuno tersebut masih terawat keasliannya. Walaupun beberapa tahun ke belakang diperbaiki pasca rusak diguncang gempa tahun 2009.


LAPORAN
YANGGI F IRLANA
MANONJAYA

MAYORITAS warga Kabupaten Tasikmalaya sudah mengetahui keberadaan Masjid Agung Manonjaya. Bangunan kuno yang berdiri kokoh di Desa/Kecamatan Manonjaya itu masih mempertahankan ornamen bersejarah.
Masjid agung ini mengalami kerusakan parah tahun 2009 akibat gempa. Namun, secara bertahap Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya memperbaikinya. Sehingga, saat ini masjid kuno tersebut sudah bisa digunakan beribadah oleh masyarakat.
Masjid besar ini awalnya berukuran kecil. Di bagian depannya tidak ada bale nyungcung. Pada tahun 1834 baru dibuat bale nyungcung di sebelah kiri dan kanan.
Pembuatan bale tersebut seiring dengan perpindahan ibukota pemerintahan dari Sukaraja ke Manonjaya. Pada masa ini pula masjid Manonjaya ini diperbesar sesuai dengan kebutuhan.
“Dan sejak dulu para kanjeng dan masyarakat melakukan ibadah di masjid tersebut,” ungkap Kasi Bina Wisata Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Tasikmalaya Asep Herman.
Selain difungsikan sebagai tempat beribadah, zaman dulu masjid agung ini juga dijakan tempat pelaksanaan pernikahan. Hanya saja, acara pernikahan tidak dilakukan di dalam masjid. Melainkan di bale nyungcung yang baru dibangun pada masa perpindahan pemerintahan.
Masjid agung ini dibangun dengan desain yang tidak lazim ada di Tanah Sukapura. Tetapi memiliki ornamen perpaduan bangsa China, Eropa dan Demak Islam. Gaya China itu bisa dilihat dari lespang hiasan kayu yang mirip dengan bangunan-bangunan China.
Sedangkan nuansa Eropa, terlihat pada desain tembok seperti zaman Kolonial Belanda. Hal ini tidak terlepas dari kuatnya budaya Belanda di Priangan Timur. “Kalau untuk bagian atapnya, itu jelas sekali menunjukkan dari Demak Islam,” kata Asep.

Namun, dari semua itu yang menjadi ciri khas dan bersejarah tinggi adalah cungkup atau menara yang berada di puncak paling atas masjid. Konon menara tersebut pemberian dari Kanjeng Syekh Abdul Muhyi Pamijahan dan dari Dalem Kawasen. (*/Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar